26.4.09

D' PeoPle


Pertama menapakkan kaki di tanah asing, yang tak pernah kubayangkan dimana letaknya dalam peta bumi Indonesia. Aku pun tak pernah berfikir akan hidup di udara Batam, yang tiba-tiba ada dan menjadi bagian hidupku. Hang Nadim, terima kasih kau telah menyambutku dengan cuaca berawan dan cukup membuatku gerah.
Senyumku kini mengembang lebar dan hatiku pun mulai mekar bunganya. Allohlah Pemberi bahagia yang tak dapat di beli dengan apapun. Raut wajahnya mengantarkanku menyusuri antara Hang Nadim – Jodoh.
Sungguh pemandangan berbeda, jalan ini lurus dari pojok pulau hingga pojok seberang hanya satu jam perjalanan motor. Kanan kiri banyak bangunan yang sedang dibangun, aku berfikir akankah aku menjadi bagian dari orang-orang yang menghuni pemukiman itu ?
Ku berharap Batam menjadi kota luar biasa dalam kepala yang telah diatur oleh syaraf tak sadarku. Namun, semakin ku memasuki kota, semakin bayangan itu terkikis perlahan-lahan, hampir saja kalau tidak karena belahan jiwaku, aku merasa ingin pulang kembali, dan segera meminta Hang Nadim menunda sejenak pesawat berikutnya untuk membawaku pulang.
Tanah merah, apakah tanaman bisa tumbuh di atasnya ? gumamku. Hingga aku sempat berfikir, gagalkah impianku memiliki kebun kecil di belakang rumah mungilku ? Aku coba menahan diriku dalam lubang kecewaku. Ada banyak bangunan bertingkat yang sering disebut dengan ruko. Hampir di setiap sudut ada bangunan yang memiliki nama ruko. Sebagian besar merupakan bangunan yang tak sempat jadi, katanya karena kontraktor yang memenangkan tender bangunan itu kabur membawa lari uang bangunan ke luar negeri. Gedung berlantai yang rencananya akan dibuat pusat perbelanjaan pun menjadi kotor tak terurus. Batam, menjadi kumuh dan tak rapi, membuat antusiasku menguap, enggan mataku melirik lebih luas. Hingga masuk dalam kota, hotel-hotel berbintang yang megah, yang kubayangkan mungkin ketika malam kan mengobati kecewaku. Tapi tetap saja Batam telah membuatku merasa tak semangat.
Beberapa waktu aku di Batam, diajaklah aku berkeliling bertemu dengan banyak orang yang sedikit membuatku geli, bahasa mereka aneh, teringat Halim, Syaifudin, dan Zulfa, bahasanya mirip mereka, bedanya tiga anak tersayang ini tidak lebih kental karena sudah cukup fasih berbahasa Indonesia. Hingga akhirnya kita berkunjung pada daerah yang banyak dihuni oleh orang yang berasal dari Jawa, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketika di Solo, Jawa Timur dan Jawa Tengah sangat berbeda, mungkin ada beberapa orang yng tidak cocok dengan karakter yang dimiliki masing-masing, tapi di sini kita seperti tidak ada beda, karena perbedaan itu lebih kentara antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Dari segi bahasa, karakter, dan banyak hal lainnya yang membuat kita harus berusaha sedikit mengedepankan kesabaran kita.
Sebenarnya kebiasaan adat tidak menjadi soal antar suku, asal kita terbuka dan menghargai kebiasaan adat masing-masing. Walaupun orang Batak Karo cara bicaranya seperti gledek, membuat hati deg-degan, tapi mereka bisa diajak bekerjasama. Atau kebiasaan orang memanggil anaknya teriak, sampai ujung pulau Batam dengar, itu pun karena suaranya memang keras. Hal yang menjadi masalah utama adalah karakter yang dimiliki masing-masing manusianya saja, yang dimanapun terasa tidak nyaman dalam hidup bersama. Hidup bersama dengan orang Jawa pun sebenarnya kadang ada tidak enaknya, karena sikap menghargai dan menyesuaikan diri yang tidak dimiliki. Jadi sekali lagi sebenarnya bukan karena adat, tapi cenderung karakter dasar yang dimiliki manusia hidup kita merasa tidak nyaman.
Ada sedikit cerita, pertama kali di Batam tetanggaku orang Sulawesi, istrinya satu bulan lebih dulu tiba di Batam sebelum aku. Waktu itu karena kondisiku tidak sehat, maka aku istirahat di rumah. Dia pun sepanjang hari ada di rumah, karena tidak bekerja. Keadaanku butuh istirahat, suasana tenang, dan tidur pulas. Tapi sejak dia bangun, sekitar pukul 8 pagi hingga sore, suara dengan logat sulawesinya menyanyi lagu-lagu pop sepanjang hari. Suaranya memang agak merdu, tapi volume yang tidak terkontrol dan keinginan untuk berhenti yang minim, membuat kepalaku semakin pusing. Kini yang sakit bukan kepalaku saja, telingaku pun ikut sakit.
Penduduk Cina di Batam lebih banyak, mungkin buat mereka tempat ini adalah tempat yang cocok untuk berdagang dan buka usaha.

No comments:

Post a Comment