26.4.09

I’M FLY


07.00 waktu ketika aku tiba di Adi Sucipto Airport. Emmmm baru kedua kalinya aku masuk bandara ini, diwaktu sebelumnya ketika aku mengantar kekasih hati, suami tercinta yang akan terbang ke Batam, kota yang telah beberapa hari ini aku tinggal di sini.

Nah, selanjutnya adalah kali berikutnya ketika aku terbang untuk bertemu kekasih yang tercinta.

Perjalanan kali ini aku percayakan pada Batavia Air lines, yang ku yakin tak seperti maskapai lain yang beberapa hari lalu tak mampu mengeluarkan roda depannya untuk landing. This is my first flight..

Setelah masuk bandara aku masukkan semua barang-barangku ke dalam mesin scanner, kecuali ponsel genggamku. Langsung aku chek in, ku sodorkan tiketku beserta travel bagku, kutaruh di bagasi saja, karena tangan kecilku tak mampu membawanya berlama-lama, 18 kg bukan beban yang ringan buatku. Ku hanya membawa tas kecil yang sifatnya memang harus aku sendiri yang membawanya, dan tidak lebih dari 7 kg. chek in sudah kulalui, kemudian ku harus melalui loket, mungkin lebih kita kenal dengan istilah peron, Rp. 25.000 jumlah yang harus kita berikan, ini menunjukkan bahwa kita salah satu anggota masyarakat yang tertib pajak. Ku duduk di ruang tunggu mengantre kapan pesawatku datang. Di depanku ada 4 gate yang bisa dilalui untuk menuju pesawat kita.

Waktu telah menunjukkan 08.30 yang harusnya ku sudah berada di dalam pesawat yang aku percaya, untuk segera take off. Tapi operator tak segera mempersilahkan semua penumpang untuk memasuki gate yang sudah ditentukan. 08.45 membuatku tak sabar lagi untuk menunggu. Pesawat yang memiliki merk sama datang dari Pontianak. Aku bergumam “emmm mungkin ini pesawat yang akan membawaku terbang”. Tepat 09.00 operator mempersilahkan para penumpang untuk masuk pesawat dengan mematikan telepon genggam sebelumnya. Ternyata cuaca buruk yang membuat pesawatku ini terlambat untuk membawaku terbang. Tapi cuaca buruk, tak membuatku khawatir, ku pasrahkan semua kepada Alloh yang mengatur hidup dan mati hamba-hamba-Nya. Kutujukan perjalananku ini hanya untuk menjalankan kewajibanku, untuk senantiasa mendampingi suamiku dengan setia, karena cinta dan karena Alloh semata.

Bismillah, ujarku ketika kumulai menapakkan kaki kananku di anak tangga pertama. 18A, adalah seat yang kuinginkan. Dekat seorang ibu dengan putri kecilnya yang berambut keriting, yang ketika menangis dia selalu memilin-milin rambut keritingnya yang dikucir dua. Posisi kiriku, mungkin tempat yang kusukai, pas menghadap muka jendela, dan aku bisa melihat jelas sayap pesawat yang begitu kokoh. Semoga Alloh menjaga terbang pesawat ini dengan sempurna.

Waktu tidak dihabiskan berlama-lama untuk segera take off. Setelah pramugari memperagakan bagaimana menggunakan safety belt, pelampung, dan masker oksigen, maka kita segera terbang landas. Di saat take off aku bisa melihat betapa sayap pesawat dirancang demikian rupa untuk mengatur tekanan udara, agar penerbangan ini seimbang dan lancar. Ketika hendak tinggal landas, persis menyerupai sirip ikan, bagian-bagian sayap melebar dan merapat, agar tidak ada sedikitpun udara yang bisa melaluinya, karena ini adalah kunci keseimbangan lajunya.

Mesin pesawat sangat bising sekali, ketika di dalam ataupun ketika ku masih di luar. Tapi mungkin beda jika pesawat yang kita pilih adalah aero buss. Pesawatku mulai menempatkan pada jalur untuk take off, semakin lama semakin kencang lajunya, dan dengan rasa yang hampir sama ketika kita naik bus turun dengan cepat dari puncak Tawangmangu, perut kita berasa mual. Sampailah roda-roda pesawat itu tak menapakkan lagi deritnya di bumi. Subhanalloh, akhirnya terbang….

Kurasakan kadang pesawat berbelok, menjijitkan salah satu sayapnya untuk mengarahkan pada tujuan. Ini adalah pesawat dengan rute Jogja – Medan yang singgah di Batam. Kulihat jalan beraspal berkelok-kelok di bawah sana, yang semakin tinggi semakin terlihat samar. Sungai berwarna kecoklatan ketika pesawat semakin naik, aku bisa melihat betapa air luar biasa, lebar sungai bisa sangat luas. Walaupun aku tak tahu di bawah sana kota yang mana, tapi aku tahu semua sungai bermuara ke laut. Laut biru, yang semakin biru pekat, menandakan kalau laut itu semakin dalam. Tenang, tak ada riak ombak, hanya putih bergulung kecil di setiap tepi pantainya. Pulau – pulau bertebaran di antara laut yang luas. Eh, ada yang seperti hewan bersel satu milik tadz Budi Lenggono… tapi tak bersilia. Ada kapal yang berlayar, walaupun kecil tapi aku bisa memastikan bahwa itu kapal. Ada pertambangan lepas pantai juga, subhanalloh banyak yang aku tahu.

Perjalanan yang sangat singkat tak akan kulewatkan dengan hanya sekedar tidur. Tapi kepala ini sejak take off pusing sekali, malah semakin tambah berat. Tenggorokanku mulai meradang, hidungku terasa beringus, suhu badanku juga terasa beranjak naik. Tiba-tiba pramugari cantik memberikan air mineral gelas juga roti, hanya untuk sekedar mengganjal perutku, karena dingin membuatku mudah merasakan lapar.

Tiba-tiba aku merasa pesawat ini bergoyang-goyang, rupanya kita menabrak setumpuk awan. Subhanalloh luar biasa. Ada banyak awan yang kuperhatikan, ada yang bergulung-gulung sama persis dengan kembang gula yang selalu dijajakan di pasar malam. Ada yang lembut hingga semuanya putih tak ada warna lain, sayap pesawat pun tak terlihat karena awan yang sangat tebal, eemmmt…seperti di negeri awan ya…ada awan yang berkelompok kecil-kecil seperti awan cinton miliknya son gho ku, lalu aku teringat macam yang mana, awan yang selalu menaungi Rosululloh Muhammad dalam setiap perjalannya.

Pukul 11.20 pramugari memberitahuku bahwa kita akan segera landing di Hang Nadim Airport, Bandara Batam yang cukup sederhana. Tujuan pesawat ini adalah Medan, jadi penumpang yang tujuannya Medan, tidak diperkenankan turun dari pesawat, karena hanya transit sekitar 20 menit saja.

Aku turun melaui pintu yang telah ditunjukkan, melalui lorong yang menghubungkan pesawat dengan ruang dalam Hang Nadim. Kubarengi orang-orang yang telah terbiasa di Hang Nadim, karena pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sini. Kuambil travel bagku, jangan sampai tertukar, karena pada waktu yang sama Lion Air dari Surabaya juga mendarat beberapa menit sebelum Batavia yang aku tumpangi.

Hang Nadim menjadi sarana pulang dan perginya penduduk asli maupun pendatang. Saat itu ada pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk. Batam 2010 akan dijadikan kota Metropolis, saat ini adalah masa transisinya, maka banyak orang yang berdatangan ke Batam guna berkarya dan bekerja. Tapi pemerintah Batam tidak menginginkan Batam seperti Jakarta, banyak Preman dan banyak pengemis. Maka jika pendatang tanpa tujuan jelas akan segera dipulangkan ke daerah asalnya. Saat itu aku tak punya KTP, karena sedang dalam proses pindah domisili. Aku bergaya seperti penduduk asli, dan langsung menuju pintu keluar. Loloslah dari pemeriksaan, walaupun dengan hati yang berdebar-debar. Di luar suami tercintaku sudah menyambutku dengan senyum manisnya.

Cerita ini kupersembahkan untuk teman-teman kecilku yang tercinta di SMAIT Nur Hidayah Sukoharjo, mungkin agak terkesan udik, tapi udik atau tidak, tergantung point of view-nya saja.

- with love -

1 comment:

  1. buat buku tamu dong teh...
    www.shoutbox.com
    atau liat tutorial bloging di link http://www.bioman-smaitnurhidayah.co.cc

    ReplyDelete